Pengertian Tanam Paksa, Sejarah dan Tujuannya (Terlengkap)

Pengertian Tanam Paksa, Sejarah dan Tujuannya (Terlengkap)– Sebelum negara indonesia seperti sekarang ini banyak kejadian pahit yang harus di alami oleh para pendahulu kita semua di zaman penjajahan yang di lakukan oleh bangsa asing.

Pengertian Tanam Paksa, Sejarah dan Tujuannya (Terlengkap)

Penjajahan ini sendiri banyak menimbulkan kerugian yang mendalam bagi rakyat indonesia seperti adanya sistem tanam paksa. Berikut penjelasan apa itu taman paksa.

Pengertian Tanam Paksa

Atau yang disebut dengan nama lain Cultuur Stelsel merupakan sistem yang bertujuan dan manfaat bagi pihak Belanda. Ialah suatu sistem di mana seseorang dipekerjakan secara paksa di mana itu sangat merugikan bagi para pekerja sebab para pekerja tidak dipenuhi haknya serta tidak mendapatkan waktu istirahat.

Adalah sebuah catatan kelam bagi bangsa Indonesia di masa lalu tepatnya masa penjajahan Belanda. Dalam kesempatan ini akan disajikan materi seputar sejarah tanam paksa dan pengertian tanam paksa. Mari simak penjelasan di bawah ini.

Sejarah Tanam Paksa

Pada tahun 1830 di masa penjajahan Belanda sudah berada di jurang kebangkrutan setelah bertempur dalam Perang Diponegoro yang berlangsung pada tahun 1825 hingga 1830.

Untuk mengatasi situasi tersebut, maka Gubernur Jendral Judo memperoleh izin untuk memberlakukan tanam paksa dengan tujuan utama menutup defisit anggaran pemerintahan Belanda dan mengisi kekurangan kas pemerintah Belanda.

Pengertian Tanam Paksa, Sejarah dan Tujuannya (Terlengkap)
Pengertian Tanam Paksa, Sejarah dan Tujuannya (Terlengkap)

Di masa itu, kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda ialah sistem politik liberal. Namun, pada kenyataannya penerapan kebijakan itu menemui kegagalan. Beberapa faktor yang menyebabkan gagalnya penerapan sistem politik liberal di antaranya :

  1. Sistem politik liberal yang tidak sejalan dengan sistem foedal di Indonesia khususnya di Pulau Jawa.
  2. Struktur birokrasi foedal yang terkesan berbelit-belit dan panjang dan hal itu membuat pemerintah tidak bisa secara langsung berhubungan dengan rakyat.
  3. Kas negara yang kian hari kian berkurang akibat dari Perang Diponegoro yang tak kunjung berakhir.
  4. Permasalahan keuangan yang kian membengkak sesudah Belgia yang termasuk salah satu peyumbang dana memisahkan diri dari Belanda pada tahun 1830.
  5. Kegiatan ekspor Belanda yang kalah saing dari Inggris.

Kemudian, masih dalam rangka menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan, Johanes Den Bosch yang diangklat menjadi Gubernur Jendral di Indonesia yang diserahi tugas pokok untuk menghimpun dana supaya bisa mengembalikan kondisi kas Belanda guna mendanai perang serta membayar utang kemudian mengeluarkan kebijakan dengan fokus utama hanya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.

Di masa awal penerapan sistem tanam paksa disebabkan pemerintah kolonial mempunyai pandangan bahwa desa-desa di Pulau Jawa mempunyai utang sewa tanah terhadap pemerintah Belanda di mana seharusnya dilakukan penghitungan sebesar 40% dari total hasil panen utama dari desa.

Tujuan Tanam Paksa

Sistem tanam paksa dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pemasukan dalam jumlah besar sreta berkewajiban menanam tanaman yang sesuai dengan permintaan pasar di Eropa, misalnya nila, tebu, teh, kopi, kapas dan kayu manis. Sistem tanam paksa diterapkan dengan ketentuan-ketentuan seperti berikut.

  1. Petani-petani yang mempunyai tanah agar bisa menyediakan satu per lima dari total seluruh tanah supaya bisa ditanami dengan tanaman untuk perdagangan yang sudah ditentukan.
  2. Bagian dari tanah yang dipakai untuk menanam tanaman wajib tidak dibebankan dengan pembayaran pajak.
  3. Hasil tanaman perdagangan itu diwajibkan untuk diserahkan kepada pemerintahan kolonial, setiap ada kelebihan hasil panen dan besaran pajak akan dibayarkan lagi sisanya.
  4. Waktu dan tenaga yang digunakan dalam penggarapan tanaman wajib tidak melebihi waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk menanam padi.
  5. Kegagalan dalam panen merupakan tanggung jawab pemerintah kolonial.
  6. Bagi petani buruh yang tidak memiliki tanah, maka harus bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan milik pemerintah kolonial.
  7. Anggaran tanah bagi tanaman perdagangan akan berada dalam pengawasan secara langsung dari penguasa pribumi. Pegawai pemerintah kolonial hanya mengawasi secara umum berlangsungnya anggaran yang dipakai juga pengangkutannya.

Kenyataan Di Lapangan

Di dalam kenyataan di lapangan, aturan-aturan yang semula sudah dibuat banyak sekali dilanggar, di antaranya :

  1. Ladang dan sawah rakyat sangat banyak yang terbengkalai sebab tenaga dan waktu rakyat hanya difokuskan untuk menanam tanaman wajib.
  2. Rakyat yang tidak memiliki tanah harus memberikan waktu lebih dari yang sudah ditentukan untuk bekerja di perkebunan pemerintah kolonial.
  3. Luasnya lahan yang dipakai untuk menanam tanaman wajib melebihi seperlima sebagaimana ketentuan.
  4. Lahan yang diberikan untuk tanaman wajib masih saja dibebankan pajak.
  5. Kelebihan hasil panen dan jumlah pajak yang telah dibayarkan tidak dikembalikan.
  6. Kegagalan panen tanaman wajib tidak ditanggung pemerintah melainkan menjadi beban rakyat.

Banyak penyimpangan yang ditemui dalam penerapan sistem tanam paksa yang menimbulkan kesengsaraan yang parah bagi masyarakat pedesaan di Pulau Jawa. Kesengsaraan tersebut berupa bencana kelaparan dan wabah penyakit di mana sehingga angka kematian meningkat drastis.

Bencana kelaparan yang paling para terjadi di Cirebon tahun 1843, Demak 1849 dan Grobogan tahun 1850. Angka kematian yang sangat fantastis tersebut berimbas pada penurunan jumlah penduduk desa yang sangat drastis dan kesengsaraan yang dialami masyarakat itu memicu terjadinya perlawanan dari para petani tebu tahun 1833 di Pasuruan.

Orang Belanda Yang Menentang Taman Paksa

Meskipun sistem tanam paksa yang membawa keuntungan besar bagi pihak Belanda, ada pula orang-orang Belanda yang tidak suka dengan sistem tersebut. Orang-orang Belanda yang kontra dengan tanam paksa menunjukkan perlawanan baik secara perseorangan atau melalui parlemen. Orang-orang Belanda yang menentang taman paksa di antaranya :

Edward Douwes Dekker

Edward Douwes Dekker ialah seorang residen di Lebak, Serang. Dekker bersedih hati melihat keadaan masyarakat Indonesia yang amat memprihatinkan akibat sistem tanam paksa. Dekker menuangkan pemikiran dan kesedihannya dalam sebuah buku yang diterbitkan tahun 1860 dengan judul “Max Havelar”.

Dalam menulis buku tersebut, Dekker memakai nama samaran yakni Multatuli. Buku Max Havelar menggambarkan kesengsaraan bangsa Indonesia sebagai hasil tanam paksa. Karya Dekker tersebut membuat orang-orang Belanda lainnya menjadi sadar keburukan sistem tanam paksa serta menghendaki penghapusan sistem tanam paksa.

Baron Van Hoevel

Semula, Baron Van Hoevel tinggal di Jakarta dan akhirnya kembali ke Belanda dan menjadi bagian dari parlemen. Selama di Indonesia, Van Hoevel mengetahui banyak mengenai penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan yang diterapkan oleh bangsanya sendiri.

Kemudian, lahir sebuah buku hasil tangan Fransen Van De Putte dengan judul ”Suiker Contracten” atau kontrak-kokntrak gula. Dua tokoh tersebut merupakan tokoh yang beupaya keras menghapuskan sistem tanam paksa di Parlemen Belanda.

Demikian penjelasan materi Pengertian Tanam Paksa, Sejarah dan Tujuannya (Terlengkap). Semoga materi tersebut bisa dipahami dengan mudah serta menjadi suatu pengetahuan baru bagi para pembaca. Terima kasih 🙂